Mengakhiri Sebuah Kekerasan
Pada masa kehidupan Nichiren Shonin, pemerintah militer Jepang (KeShogunan Kamakura) sibuk untuk mempersiapkan diri menghadapi perang terhadap agresi dari Mongolia, yang ingin menyerang dan menduduki Jepang melalui Korea. Shogun juga menghadapi kekerasan dari kalangan internal dalam mengatasi pemberontakan yang mencoba untuk menduduki istana. Bahkan gerakan keagamaan ditindak dengan kekerasan oleh Shogun untuk mempertahankan otoritas kekuasaan mereka. Nichiren Shonin sendiri menghadapi Empat Penganiayaan Besar dan sejumlah percobaan pembunuhan lainnya, dan salah satu yang paling terkenal adalah Hukuman Pancung di lapangan Tatsunokuchi. Kejadian lainnya, tiga orang pengikut telah dihukum mati karena mereka tetap mempertahankan hati kepercayaan kepada Saddharma Pundarika Sutra, dan Nichiren Shonin sendiri tidak pernah berkeinginan untuk melakukan balasan, bahkan ia menasihati para pengikutnya dengan mengatakan :
“Sekalipun jika dihadapkan dengan senjata dan penyiksaan, seluruh muridKu hendak tidak pernah melakukan hal yang sama. Jika terdapat kelompok lain yang ingin menghancurkan kelompok kita, tolong beritahukan saya segera.” (Shonin Gonanji 1279)
Nichiren Shonin secara jelas merasa bahwa kekerasan bukanlah sebuah solusi. Bagi Nichiren Shonin, nilai kehidupan adalah hati kepercayaan yang tertinggi sebagaimana yang diajarkan dalam Saddharma Pundarika Sutra , dan merupakan satu-satunya cara untuk mencapai perdamaian.
Nichiren Shonin, sama seperti Buddha Sakyamuni, menyadari bahwa satu-satunya cara untuk memutuskan mata rantai kekerasan adalah melalui kekuatan dan keinginan untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan juga. Sebagai gantinya, balaslah kekerasan dengan hati yang kuat untuk mengikuti Dharma, semangat memaafkan dan saling mengasihi . Hanya dengan cara demikian maka akan terciptakan ketenangan dan kedamaian. Ini beberapa kutipan ajaran Sang Buddha yang diambil dari Dhammapada:
“Ia marah kepada aku, ia menyerang aku, ia memukul aku, ia merampok aku”,.. mereka yang mempunyai pemikiran seperti ini tidak akan pernah bebas dari kebencian. Ia marah kepada aku, ia menyerang aku, ia memukul aku, ia merampok aku.”… mereka yang tidak berpikir seperti itu, akan terbebas dari kebencian.
"Karena kebencian tidak akan pernah musnah dengan kebencian. Ini adalah sebuah hukum yang tidak dapat diubah. Orang-orang lupa bahwa hidup mereka segera akan berakhir. Bagi mereka yang ingat, maka kebencian yang datang akan berakhir." (Dhammapada 3 - 6)
Sikap keras Nichiren Shonin terhadap sekte agama Buddha lain pada waktu itu, sering disalah artikan sebagai sebuah kesombongan, ketidaksemenaan, atau keegoisan pribadi. Namun hal itu tidak benar sama sekali, seperti yang kita ketahui bahwa masyarakat Jepang yang berkultur demikian keras, sikap sombong yang kuat dan keinginan untuk menang sendiri adalah juga cermin dari para birokrat, para politisi, para pemuka agama saat itu. Nichiren Shonin bersikap keras untuk menegakkan ajaran sesungguhnya demi untuk menyelamatkan negara dari kehancuran yang disebabkan kesesatan yang terjadi akibat dari penafsiran yang salah terhadap ajaran Sang Buddha, yang dilakukan oleh sekte-sekte keagamaan waktu itu.
Nichiren Shonin, berkeyakinan bahwa hanya Saddharma Pundarika Sutra dan menyebut O'daimoku mampu membawa kedamaian bagi negara dan sekaligus menghindari kehancuran negara, sebagaimana yang dibabarkan oleh Sang Buddha dalam Saddharma Pundarika Sutra. Tetapi niat baik Beliau tidak disambut dengan baik oleh penguasa militer, politisi dan para pemuka agama, sehingga Beliau beberapa kali menghadapi percobaan pembunuhan dan penganiayaan. Karya Nichiren Shonin yang menjelaskan secara terperinci kecintaanNya terhadap negara adalah “Rissho Ankoku Ron” dan penjabaran Buddhisme yang sesungguhnya dalam “Kaimoku Sho”. Meskipun Beliau bersikap keras dan tegas, Ia adalah seorang yang sangat cinta damai, lemah lembut dan penuh rasa welas asih yang mendalam. Hal ini dapat kita baca dalam surat-surat yang dikirimkan kepada para penganutnya.