Di dalam sammaditthi sutta (MN 9.17) dikatakan berhentinya penderitaan adalah pemudaran dan penghentian tanpa sisa, penyerahan, pelepasan, membiarkan pergi, dan penolakan nafsu keinginan. Jadi Sang Buddha mengajarkan bahwa keinginan berlebihan yang melekat dapat dihilangkan dari pikiran kita. Ketika keinginan manusia menjadi wajar, tidak melekat, tidak serakah maka kebahagiaan sejati (nibbana) telah ia alami.
Nibbana sebagai kedamaian atau kebahagiaan sejati adalah ketika penderitaan lenyap, ketika akar penderitaan yaitu keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan kebodohan batin (moha) telah lenyap. Itulah Nibbana, kebahagiaan sejati yang saat ini dapat kita alami karena sifat keserakahan, kebencian dan kebodohan batin dapat kita hancurkan saat ini juga dengan ketidakserakahan atau ketidakmelekatan (berdana), ketidakbencian atau cinta kasih dan welas asih, serta dengan kebijaksanaan sejati.
Sang Buddha mengatakan bahwa beliau hanyalah seorang penunjuk jalan menuju kebahagiaan sejati (nibbana). Beliau mengajarkan bagaimana melatih diri untuk mengendalikan sifat-sifat negatif. Buddha tidak bisa membawa sesorang ke Nibbana karena nibbana hanyalah sebuah kondisi batin (pikiran, perasaan) yang berbeda pada setiap orang. Yang dapat membuat diri kita mengalami nibbana (kebahagiaan sejati) adalah diri sendiri dengan melatih seperti yang diajarkan beliau yakni Jalan Mulia Berunsur Delapan. Jadi berhentinya penderitaan (dukkha) sama artinya dengan tercapainya nibbana.
Nibbana bukanlah suatu tempat, melainkan keadaan dimana seseorang mempunyai pikiran yang sangat jernih yang telah terbebas dari sifat serakah, benci, dan gelap batin. Ia dapat mencapainya ketika masih memiliki badan jasmani. Sebagaimana perjuangan Pangeran Siddhartha untuk mencari jalan keluar dari fenomena usia tua, sakit dan kematian hingga menjadi Buddha, maka seperti itulah seseorang dengan sekuat tenaganya sendiri berusaha mengikis habis sifat-sifat jahat yang ada dalam dirinya, mengikis habis ego dalam dirinya, mengikis habis nafsu-nafsu indera, dan memunculkan kebijaksanaan paling tinggi dalam kehidupannya dan menjadikan dirinya sendiri sebagai Orang Suci meskipun masih bergaul dengan banyak orang dan berpenghidupan di masyarakat luas. Kelak ketika ia meninggal dunia, maka tidak akan ada lagi orang yang mengetahui kemana ia pergi, karena Nibbana bukanlah suatu tempat. Sebagaimana api itu ada, namun tidak seorang pun yang dapat mengetahui kemana perginya api setelah padam.
Jika diibaratkan sebuah lilin yang menyala, apinya adalah kebencian, keserakahan, dan kegelapan batin dan batang lilin adalah badan jasmani, maka ketika nyala lilin padam bersamaan dengan habisnya batang lilin yang terbakar, saat itulah fenomena-fenomena selanjutnya dari lilin tersebut tidak dapat diketahui oleh siapapun.
Inilah gambaran Nibbana secara sederhana.
Jadi sangat mungkin Kebahagiaan Sejati dapat dicapai bukan setelah meninggal dunia, tetapi juga ketika masih hidup.
Kembali ke Daftar Isi Blog Ini