PESAN WAISAK 2558 BE/2014
SANGHA AGUNG
INDONESIA
Namo Sanghyang Ādi
Buddhaya
Namo Tassa
Bhagavato Arahato Sammā Sambuddhassa
Namo Sabbe
Bodhisattāya-Mahasattāya
“BUDDHA MEMIMPIN
KITA HIDUP BERKESADARAN”
Waisak Purnamasiddhi telah tiba,
semua umat Buddha mengingat dan merenungkan makna spiritual dan semangat yang
terkandung dalam tiga peristiwa besar: Pertama Pangeran Siddharta Gotama di
Lumbini, di taman yang indah. Beliau adalah Bodhisattva yang turun ke bumi dari
surga Tusita untuk menjadi Buddha. Kedua dari Pencapaian Pencerahan petapa
Siddharta Gotama berhasil mewujudkan Nibbana dan menjadi Samyaksambuddha di
Bodhgaya, di bawah pohon Bodhi. Yang ketiga, parinibbana Buddha Gotama di
Kusinara, di antara dua pohon Sala kembar. Peristiwa yang terjadi pada bulan
Waisak merupakan totalitas kehidupan yang penuh dengan dedikasi dan karya besar
bagi kemanusiaan, peradaban, dan alam semesta.
Setiap peristiwa dalam kehidupan
Buddha memberikan pelajaran komprehensip kesadaran terhadap realitas-realitas
kehidupan manusia, tentang keterikatan pada usia tua, kesakitan (penyakit), dan
kematian, serta mengajarkan pentingnya perenungan yang mendalam dan pikiran
kritis. Kesadaran (Buddha) mengingatkan akan ketidaksadaran terhadap kehidupan
yang tenggelam dalam aneka kesenangan dan
masalah-masalah yang rendah, dan terlena pada keasyikan besar yang menggoda
pada setiap saat dalam kehidupan. Pencapaian
Pencerahan Buddha mengajarkan
kebijaksanaan dan kebebasan tertinggi dari penderitaan yang merupakan sebuah
potensi inheren di dalam manusia. Energi kesadaran ini ketika dipupuk akan
membantu, melindungi, dan membarikan keberanian untuk kembali kepada diri
sendiri. Kesadaran penuh ini akan membawa konsentrasi, dan konsentrasi akan
membawa pemahaman. Pemahaman akan membebaskan dari ketidaktahuan, kemarahan,
dan keserakahan. Perhatian mental yang tepat (yonisomanasikara)
menghadirkan kebahagiaan, kedamaian,
kejernihan, dan cinta kasih. Ketika bebas dari penderitaan kebahagiaan menjadi
mungkin, dan bagaimana bisa bahagia ketika dilanda kemarahan, ketidaktahuan,
dan keserakahan. Buddha menjawab pertanyaan devatā (S.I.42) “Setelah membunuh,
apakah seseorang tidur dengan lelap? Setelah membunuh, apakah seseorang tidak
bersedih? Apakah satu hal ini, O, Gotama, pembunuhan yang Engkau setujui?”
Buddha Gotama menjawab “Setelah membunuh kemarahan, seseorang tidur dengan
lelap; setelah membunuh kemarahan, seseorang tidak bersedih; pembunuhan kemarahan,
O, Devatā, dengan akarnya yang beracun dan pucuknya yang bermadu; inilah
pembunuhan yang dipuji oleh para mulia, karena setelah membunuhnya, seseorang
tidak bersedih.”
Hidup berkesadaran merupakan “jalan
langsung (ekayano)” yang dijelaskan dalam bagian pertama Satipatthana Sutta
(M.I.56) untuk memperoleh realisasi. Buddha bersabda: “Para bhikkhu, inilah
jalan langsung untuk mempurifikasikan para makhluk, mengatasi penderitaan dan
ratapan, menghilangkan penderitaan (dukkha) dan penolakan, memperoleh cara
sesungguhnya, merealisasi nibbana, yaitu empat satipatthana (1) merenungkan
tubuh (kaya), (2) merenungkan perasaan (vedana), (3) merenungkan pikiran
(citta), (4) merenungkan fenomena-fenomena (dhamma). Praktik ini dapat membantu
mengatasi kelemahan sehubungan dengan lima sila (A.IV.457). Energi negatif
selalu mencoba muncul, namun jika menghadirkan perhatian penuh kesadaran maka
kita akan mengenalinya. Perhatian penuh kesadaran akan membantu mengenali
kebiasaan-kebiasaan yang diwariskan oleh leluhur dan kedua orang tua, atau yang
diperoleh selama masa kanak-kanak. Melalui napas masuk dan keluar dengan
perhatian penuh kesadaran, serta berkata 'energi kebiasaan yang kukasihi,
muncul kembali'. Dengan mengenali
kebiasaan itu, maka akan melemah kekuatannya. Jika muncul kembali
lakukan cara yang sama, dan energi akan semakin melemah kekuatannya. Jadi tidak
perlu memeranginya atau melawan, cukup kenali dan tersenyumlah kepadanya,
sehingga akhirnya tidak bisa mengendalikan kita lagi.
Buddha memimpin kita hidup
berkesadaran, dimana kata Buddha berarti seorang yang sadar atau seseorang yang
telah terjaga, yang tahu apa yang sedang terjadi. Buddha adalah kita, dengan
latihan Dharma akan menolong dan memimpin diri kita serta orang-orang sekitar
agar terjaga atau tergugah dengan fakta, bahwa semua memiliki benih keterjagaan
di dalam diri, dan karena itulah masih banyak harapan. Dengan keterjagaan
kolektif, maka segalanya dapat bergerak dengan cepat. Sehingga, apa pun yang
kita lakukan harus ditujukan untuk menghadirkan keterjagaan kolektif. Para
pemimpin memiliki benih-benih kebaikan
di dalam dirinya, dan memiliki benih-benih negatif. Kemungkinan dikelilingi
oleh orang-orang yang tidak tahu cara menyirami benih-benih kebaikan, dan terus
menyirami benih-benih ketakutan, kemarahan, kekerasan, dan keserakahan. Karena
itulah, perlu mencari cara-cara agar bersentuhan dengan para pemimpin politik,
serta menolong mereka. Protes adalah satu jenis pertolongan, tetapi harus
dilakukan dengan arif-bijaksana, sehingga dilihat sebagai sebuah tindakan
kasih, dan bukan tindakan kebencian.
Para pemimpin politik dan bisnis
memiliki banyak energi serta niat untuk memenuhi harapan-harapan mereka.
Sebagian dari niat tersebut mungkin sangatlah bermanfaat; niat untuk
menghentikan polusi, mengakhiri ketimpangan sosial, merestorasi kedamaian,
mentransformasi serta membawa perubahan di dunia. Tetapi bukan berarti mereka
juga tidak memiliki niat untuk menjadi penuh kekuasaan, penuh kesuksesan, serta
terkenal. Jadi, mungkin terdapat banyak niat yang saling kontradiksi dalam diri
pemimpin. Kita bisa menolong mereka agar sadar akan motivasi-motivasi mereka,
serta melihat cara untuk mengharmoniskannya. Caranya adalah dengan menolong
mereka mengerti dirinya sendiri. Bagus bagi seorang praktisi agar cukup rendah
hati untuk mengenali bahwa dia belajar banyak tentang dirinya sendiri, tentang
penderitaan, serta tentang situasi dunia ini.
Latihan untuk mendengar secara
mendalam serta mengerti diri sendiri dengan baik, untuk mendengar dunia serta
mengerti penderitaannya; adalah sama bagi setiap orang, baik mereka
praktisi-praktisi individual, para pemimpin politik, atau para pemimpin bisnis.
Banyak pemimpin bisnis yang ingin melakukan hal-hal baik, yang ingin
menggunakan perusahaannya untuk lebih mempromosikan kesetaraan sosial dan
kesejahteraan. Tetapi mereka menghadapi banyak kesulitan. Sebagian dari mereka
harus melakukan kompromi, karena jika tidak mereka mungkin kehilangan posisi
dan karir mereka. Para pemimpin memiliki kesulitan-kesulitannya sendiri. Kita
tidak bisa dengan gampangnya menyalahkan mereka atas masalah-masalah dunia.
Kita harus mengerti sebelum bisa menolong mereka.
Sembari mengenali manfaat pemisahan
agama dari politik dan keterbatasan sistem politik dalam menghasilkan kedamaian
dan kebahagiaan, ada beberapa aspek ajaran Buddha yang berhubungan dekat dengan
aturan politik pada masa kini. Pertama,
Buddha berbicara tentang kesejajaran semua umat manusia, dalam Aggañña
Sutta (D.III.83) satu-satunya klasifikasi umat manusia, menurut Buddha
didasarkan pada kualitas tingkah laku moral mereka. Kedua, Buddha mendorong
semangat kerja sama sosial dan partisipasi aktif dalam masyarakat. Ketiga,
karena tidak seorang pun ditunjuk sebagai penerus Buddha, anggota persamuan akan
dituntun oleh Dharma dan Vinaya, atau
Aturan Kebenaran Hukum. Keempat, Buddha mendorong semangat konsultasi dan
proses demokrasi.
Pendekatan Buddha terhadap kekuasaan
adalah moralisasi dan penggunaan kekuasaan rakyat secara bertanggungjawab.
Buddha berkhotbah tentang tanpa kekerasan dan kedamaian sebagai pesan
universal. Beliau tidak menyetujui kekerasan atau pemusnahan kehidupan, dan
menyatakan bahwa tidak ada hal yang disebut perang 'adil'. Buddha mendiskusikan
pentingnya dan prasyarat pemerintahan yang baik. Beliau menunjukkan bagaimana
negara dapat menjadi korup, memburuk, dan tidak bahagia jika kepala
pemerintahan korup dan tidak adil. Beliau berbicara menentang korupsi dan
bagaimana pemerintah harus bertindak berdasarkan pada prinsip kemanusiaan.
Buddha bersabda: Jika penguasa suatu negara adil dan baik, para menteri menjadi
adil dan baik, Jika para menteri adil dan baik, para pejabat tinggi menjadi
adil dan baik, Jika para pejabat tinggi adil dan baik, para bawahan menjadi
adil dan baik; Jika para bawahan adil dan baik, rakyat menjadi adil dan baik'
(Aïguttara Nikaya).
Buddha bersabda (Cakkavatti Sīhanadā
Sutta (D.III.60) bahwa pelanggaran susila dan kejahatan, seperti pencurian,
penipuan, kekerasan, kebencian, kekejaman, dapat muncul dari kemelaratan. Para
raja dan pemerintah mungkin mencoba untuk menekan kejahatan melalui hukuman,
tapi sia-sia memberantas kejahatan dengan kekerasan. Dalam Kūtadanta Sutta
(D.I.136), Buddha menyarankan pengembangan ekonomi sebagai pengganti kekerasan
untuk mengurangi kejahatan. Pemerintah harus menggunakan sumber daya negara
untuk memperbaiki kondisi ekonomi negara
tersebut. Hal ini dapat dimulai dengan pengembangan pertanian dan pedesaan,
pemerintah memberikan makanan dan bibit kepada mereka. Menyediakan bantuan
modal (finansial) pada pengusaha dan pedagang. Menyediakan gaji yang memadai bagi pegawai (pekerja)
untuk mempertahankan hidup layak dengan
martabat manusia. Apabila mereka melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing,
maka pendapatan negara akan meningkat, negara akan aman dan damai, rakyat berdaulat senang dan bahagia.
Buddha memberikan 10 peraturan bagi
Pemerintahan yang baik,yang dikenal sebagai Dasa Raja Dharma (Ja.V.378).
Sepuluh peraturan ini bahkan dapat diterapkan saat ini oleh pemerintah mana pun
yang ingin memerintah negara dengan damai. Menurut peraturan ini, pemerintah
seharusnya: (1) Kedermawanan atau menghindari mementingkan diri sendiri, (2)
Memelihara sifat moral yang luhur, (3) Siap untuk mengorbankan kesenangan diri
sendiri untuk kesejahteraan warga negara, (4) Integritas atau tulus, jujur, dan dapat dipercaya,(5)
Baik dan lemah lembut, (6) Menjalani hidup sederhana agar diteladani warga
negara, (7) Bebas dari kebencian apa pun (tanpa amarah), (8) Menerapkan prinsip
tanpa kekerasan, (9) Menjalankan kesabaran, dan (10) Menghormati pendapat
rakyat untuk memajukan perdamaian dan keselarasan.
Berkenaan dengan tingkah laku
pemerintah, Beliau lebih lanjut menasehati: (a) Pemerintah yang baik harus
berlaku adil, tidak berat sebelah dan
tidak mendiskriminasi antara satu kelompok warga negara tertentu terhadap yang
lainnya. (b) Pemerintah yang baik tidak menyimpan segala bentuk kebencian
terhadap warga negaranya. (c) Pemerintah yang baik tidak takut terhadap apa pun
dalam pelaksanaan hukum, jika hal itu adil adanya. (d) Pemerintah yang baik
harus memiliki pemahaman yang jelas tentang hukum untuk dilaksanakan. Hukum
tidak boleh dilaksanakan hanya karena pemerintah memiliki otoritas untuk
memberlakukannya. Hal ini harus dilakukan dengan cara yang masuk akal dan
dengan akal sehat (Cakkavatti Sīhanadā Sutta).
Ada banyak cara untuk mendekati para
pemimpin. Kita semua tukang kayu, masinis, jurnalis, penulis, produser film,
pendidik, orang tua, pengacara, perawat, bisa menulis surat, menelepon, membawa
spanduk-spanduk.
Bisa mengekspresikan diri dalam cara
yang bisa menghadirkan kewaspadaan serta mewujudkan pentransformasian kesadaran
kolektif. Ini adalah penanganan di akarnya; yaitu mentransformasi cara
berpikir, menolong semua agar memandang fenomena-fenomena dengan lebih mendalam
serta jernih. Semua orang dapat melakukan hal ini dalam kehidupan sehari-hari.
Keadilan sejati harus memiliki welas-asih didalamnya. Saat seseorang melakukan
sesuatu yang destruktif, maka kerusakan tidak hanya terjadi pada korban, tetapi
juga pada pelaku. Semua tahu bahwa setiap kali mengucapkan sesuatu yang tidak
arif-bijaksana, tutur kata yang bisa merusak hubungan dengan orang lain serta
membuatnya menderita; tahu bahwa kita juga telah merusak diri sendiri, serta
menciptakan penderitaan bagi diri sendiri. Hal demikian berasal dari kurangnya
kebijaksanaan, kurangnya kesadaran, dan kurangnya welas asih; dan menderita
seperti yang diderita orang lain. Mungkin tidak saat ini, tetapi tidak lama
kemudian akan menderita. Penyebab sesungguhnya dari tindakan destruktif adalah
ketidaktahuan, kurangnya kebijaksanaan.
Jika tahu cara memandang kriminal, maka akan memiliki welas-asih. Dengan
welas-asih, bisa menawarkan jenis keadilan yang mengandung lebih banyak
kesabaran, pengertian, dan toleransi. Tidak hanya bisa merekonsiliasi keadilan
dengan welas-asih, tetapi juga bisa mendemonstrasikan bahwa keadilan sejati
harus memiliki welas-asih dan pengertian di dalamnya.
Semoga momen Waisak 2558 BE ini
menginspirasi menjadi pemimpin diri sendiri dengan hidup berkesadaran,
mengembangkan kesadaran, mengembangkan kebaikan berhubungan dengan belajar
untuk hidup dari satu hati yang tercerahkan. Semoga semua makhluk hidup
berbahagia.
Mettacittena,
SANGHA AGUNG INDONESIA
Mahathera Nyanasuryanadi.
Ketua Umum