Pembahasan tetang manusia dalam pandangan agama Buddha tidak terlepas dari sisi batin dan jasmani. Meskipun dua hal tersebut sangat penting, tetapi sudut pandangan agama Buddha lebih menekankan pada sisi batin. Hal ini sesuai dengan sabda Buddha bahwa “manopubba?gam? dhamm?”(Dh.i.2). Pikiran merupakan pelopor dari semua bentuk pikiran, sebagai pemimpin, dan segala sesuatu diciptakan oleh pikiran. Buddha menyikapi mengenai pikiran dengan cara mengasah, melatih dan mengendalikan. Metode ini telah disebutkan dalam berbagai sutta atau ajaran dari Buddha yang disebut sebagai kelompok Samadhi. Tetapi dalam pembahasan masalah ini, Samadhi dibahas berdasarkan Tipitaka.
Etimologi kata Samadhi
Kata samadhi dalam agama Buddha bukan suatu kata yang asing, karena merupakan salah satu bagian yang esensial dari ajaran Buddha. Berdasarkan pada kitab Visudhimagga bahwa samadhi berasal dari kata samm? dan ?dh?na. Bhikkhu Buddhaghosa (1991: 85) menterjemahkan kedua kata tersebut adalah “the centering of consciousness (?dh?na) and consciousness conconmitants evenly and rightly (samm?) on a single object”. Jadi secara harafiah bahwa samadhi merujuk pada konsentrasi dari kesadaran atau pikiran terhadap pada suatu obyek tunggal. Selain kata samadhi, terdapat kata yang memiliki makna yang tidak jauh berbeda yaitu kata meditasi. Kata meditasi lebih akrab dengan masyarakat, karena masyarakat lebih condong memilih kata meditasi dalam membicarakan tentang pengolahan batin. Meditasi berasal dari meditation (bahasa Inggris) yang merupakan gabungan kata “media” dan “station”. Media merupakan tempat, sedangkan station lebih dipahami sebagai pemberhentian. Tetapi dalam sudut pandang ini yang dimaksud dengan tempat pemberhentian yaitu sebagai tempat pemberhentian kesadaran terhadap suatu objek. Selain dari kedua kata tersebut, terdapat kata yang memiliki karakteristik yang sama untuk menanggapi masalah batin. Bahasa Pali juga menyebutkan kata Bh?van? yang diartikan sebagai pengembangan batin (Supandi, 2001: 266). .Jadi dapat ditarik pemahaman bahwa Samadhi, Meditation dan Bh?van? memiliki makna yang identik dengan maksud pemusatan kesadaran terhadap suatu objek yang dipilih atau pengembangan batin yang positif.
Pembahasan
Buddha membahas mengenai pengembangan batin dilakukan dengan menggunakan berbagai perumpamaan agar mudah dipahami oleh para siswanya. Salah satu perumpamaan yang telah dipakai oleh Buddha untuk menjelaskan masalah batin terdapat dalam Chappanakopama sutta (Lay, 2000: 170). Sutta tersebut menggambarkan bahwa batin yang memiliki banyak keinginan sangat sulit dikendalikan. Pikiran seorang Bhikkhu dengan kemampuan inderanya yang tidak terkendali akan didorong oleh indera-inderanya ke arah obyeknya yang sesuai. Kemudian dari kondisi tersebut diibaratkan bahwa pikiran yang bermacam-macam sebagai serigala yang diikat dengan tali pada suatu tiang kokoh yang ditancapkan pada tanah. Srigala akan berupaya keras untuk kembali ke rumahnya, dan sesudah kelelehan akhirnya akan diam di dekat tiang tersebut. Dari perumpaman tersebut bahwa pikiran diumpamakan sebagai srigala, tali sebagai konsentrasi, dan tiang sebagai obyek. Maka dari itu ketika pikiran dilatih konsentrasi terhadap suatu obyek akan mendapatkan ketenangan sesuai dengan srigala yang sudah kelelahan. Pembahasan yang dalam mengenai samadhi terdapat dalam Ariya Atthangika Magga yang telah dibahas lengkap dalam Cullavedalla sutta (Horner, 2000: 831) yang menyatakan bahwa kelompok samadhi terdiri dari usaha benar, perhatian benar, konsentrasi benar (M.i.301). Usaha benar merupakan usaha mengembangkan batin untuk melenyapkan kekotoran batin yang telah ada, mencegah kekotorann batin yang belum muncul, memunculkan batin yang bersih yang belum muncul, dan mempertahankan batin yang bersih yang telah muncul. Kemudian mengenai perhatian benar, telah dijelaskan dalam Mahasatipatthana sutta yang menjabarkan mengenai perhatian murni terhadap kelompok perasaan, jasmani, batin (citta), bentuk-bentuk batin (Dhamma). Pada dasarnya pembahasan Samadhi dalam sutta memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menghancurkan lobha, dosa, dan moha sebagai wujud dari nibbana dengan cara mengembangkan, melatih, dan mengendalikan batin.
Daftar Pustaka
Kunjungi Daftar Isi Blog Ini
Etimologi kata Samadhi
Kata samadhi dalam agama Buddha bukan suatu kata yang asing, karena merupakan salah satu bagian yang esensial dari ajaran Buddha. Berdasarkan pada kitab Visudhimagga bahwa samadhi berasal dari kata samm? dan ?dh?na. Bhikkhu Buddhaghosa (1991: 85) menterjemahkan kedua kata tersebut adalah “the centering of consciousness (?dh?na) and consciousness conconmitants evenly and rightly (samm?) on a single object”. Jadi secara harafiah bahwa samadhi merujuk pada konsentrasi dari kesadaran atau pikiran terhadap pada suatu obyek tunggal. Selain kata samadhi, terdapat kata yang memiliki makna yang tidak jauh berbeda yaitu kata meditasi. Kata meditasi lebih akrab dengan masyarakat, karena masyarakat lebih condong memilih kata meditasi dalam membicarakan tentang pengolahan batin. Meditasi berasal dari meditation (bahasa Inggris) yang merupakan gabungan kata “media” dan “station”. Media merupakan tempat, sedangkan station lebih dipahami sebagai pemberhentian. Tetapi dalam sudut pandang ini yang dimaksud dengan tempat pemberhentian yaitu sebagai tempat pemberhentian kesadaran terhadap suatu objek. Selain dari kedua kata tersebut, terdapat kata yang memiliki karakteristik yang sama untuk menanggapi masalah batin. Bahasa Pali juga menyebutkan kata Bh?van? yang diartikan sebagai pengembangan batin (Supandi, 2001: 266). .Jadi dapat ditarik pemahaman bahwa Samadhi, Meditation dan Bh?van? memiliki makna yang identik dengan maksud pemusatan kesadaran terhadap suatu objek yang dipilih atau pengembangan batin yang positif.
Pembahasan
Buddha membahas mengenai pengembangan batin dilakukan dengan menggunakan berbagai perumpamaan agar mudah dipahami oleh para siswanya. Salah satu perumpamaan yang telah dipakai oleh Buddha untuk menjelaskan masalah batin terdapat dalam Chappanakopama sutta (Lay, 2000: 170). Sutta tersebut menggambarkan bahwa batin yang memiliki banyak keinginan sangat sulit dikendalikan. Pikiran seorang Bhikkhu dengan kemampuan inderanya yang tidak terkendali akan didorong oleh indera-inderanya ke arah obyeknya yang sesuai. Kemudian dari kondisi tersebut diibaratkan bahwa pikiran yang bermacam-macam sebagai serigala yang diikat dengan tali pada suatu tiang kokoh yang ditancapkan pada tanah. Srigala akan berupaya keras untuk kembali ke rumahnya, dan sesudah kelelehan akhirnya akan diam di dekat tiang tersebut. Dari perumpaman tersebut bahwa pikiran diumpamakan sebagai srigala, tali sebagai konsentrasi, dan tiang sebagai obyek. Maka dari itu ketika pikiran dilatih konsentrasi terhadap suatu obyek akan mendapatkan ketenangan sesuai dengan srigala yang sudah kelelahan. Pembahasan yang dalam mengenai samadhi terdapat dalam Ariya Atthangika Magga yang telah dibahas lengkap dalam Cullavedalla sutta (Horner, 2000: 831) yang menyatakan bahwa kelompok samadhi terdiri dari usaha benar, perhatian benar, konsentrasi benar (M.i.301). Usaha benar merupakan usaha mengembangkan batin untuk melenyapkan kekotoran batin yang telah ada, mencegah kekotorann batin yang belum muncul, memunculkan batin yang bersih yang belum muncul, dan mempertahankan batin yang bersih yang telah muncul. Kemudian mengenai perhatian benar, telah dijelaskan dalam Mahasatipatthana sutta yang menjabarkan mengenai perhatian murni terhadap kelompok perasaan, jasmani, batin (citta), bentuk-bentuk batin (Dhamma). Pada dasarnya pembahasan Samadhi dalam sutta memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menghancurkan lobha, dosa, dan moha sebagai wujud dari nibbana dengan cara mengembangkan, melatih, dan mengendalikan batin.
Daftar Pustaka
- Buddhaghosa, Bhadantacariya. 1991. The Path of Purification (Visuddhimagga).. Kandy: Buddhist Publication Society.
- Hoerner, I. B. (Ed.). 2000. The Collection of the middle Length Sayings, vol. I (Majjhima Nikaya). Oxford: The Pali Texts Society.
- Lay, U Ko. Tanpa tahun. Panduan Tipitaka.Terjemahan oleh Lanny Anggawati dan Wena Cintiawati. 2000. Klaten: Vihara Bodhivamsa.
- Norman, K. R. (Ed). 2004. The Word of the Doctrine (Dhammapada). Oxford: The Pali Texts Society.
- Supandi, Cunda J. 2001. Tata Bahasa Pali. Jakarta: Karaniya.
Kunjungi Daftar Isi Blog Ini