Selain tidak menggunakan kekerasan, Sang Buddha juga tidak mengajarkan para umatnya untuk menerima begitu saja seluruh pelajaran Beliau tanpa menggunakan akal pikiran. Sang Buddha justru lebih menekankan aspek manfaat agama setelah dilaksanakan, bukan hanya menuntut percaya dan yakin secara membuta. Hal ini telah pernah Sang Buddha sampaikan kepada Suku Kalama yang bertanya kepada Beliau tentang bagaimana memilih salah satu ajaran dari sekian banyak ajaran yang terdapat dalam masyarakat. Padahal semua ajaran itu menganggap dirinya yang paling benar dan ajaran lain adalah salah. Sang Buddha bersabda dalam
Kalama Sutta, Anguttara Nikaya I, 190:
Dengarkan, kaum Kalama, jangan hanyut terbawa oleh ucapan orang atau tradisi atau desas desus, atau oleh otoritas kitab suci, oleh penalaran, oleh logika, atau penelitian alasan-alasan; atau setelah merenungkan dan menerima teori-teori tertentu; atau oleh bentuknya yang berkenan di hati; atau oleh pertimbangan:’pertapa itu guruku’…. Tetapi, kaum Kalama, apabila kalian mengetahui sendiri bahwa hal-hal ini…patut dicela oleh para bijak dan bila dilakukan akan membawa kerugian dan penderitaan, maka tolaklah hal-hal itu…. Sebaliknya, apabila kalian mengetahui sendiri bahwa hal-hal ini tidak tercela dan patut dipuji oleh para bijak, dan bila dilakukan akan menghasilkan kesejahteraan dan kebahagiaan, maka lakukanlah dan binalah hal-hal itu.
Kebebasan berpikir dan berpendapat tidak hanya dianjurkan Sang Buddha untuk para umatnya saja, melainkan juga untuk para bhikkhu. Disebutkan dalam Mahavagga II, 114:5, Vinaya Pitaka :
“Bilamana kalian tidak setuju dengan tindakan para bhikkhu, kami ijinkan kalian untuk mengutarakan pendapat kalian tentang hal itu; kami mengijinkan empat atau lima bhikkhu untuk mengutarakan hal tersebut; tetapi kalau hanya seorang saja, kami tidak berkenan akan hal tersebut.”