Agama Buddha pada Masa Penjajahan

Kerajaan Majapahit yang mengalami keruntuhan pada tahun 1478 juga membawa dampak runtuhnya pilar-pilar kejayaan Agama Buddha di Nusantara (Indonesia). Rakyat yang tetap setia memeluk agama Shiva-Buddha mengungsi dan berkumpul di berbagai tempat di Jawa Timur dan Pulau Bali. Namun, sebuah literatur kuno mengatakan bahwa Agama Buddha di Indonesia akan tertidur dalam 4 jaman dan akan bangkit kembali setelah 500 tahun kemudian semenjak runtuhnya Kerajaan Mahapahit pada tahun 1478.

Setelah Majapahit runtuh, Nusantara memasuki jaman kerajaan-kerajaan Islam sekitar tahun 1478 sampai tahun 1813. Pada akhir masa kejayaan kerajaan-kerajaan Islam, bangsa Eropa mulai menjejakkan kakinya ke bumi pertiwi dan Nusantara memasuki jaman kolonial (penjajahan). Bangsa Belanda mulai menjajah Indonesia setelah didahului oleh bangsa Portugis. Selama lebih kurang 350 tahun Belanda menjajah Indonesia.

Datang bersama dengan kaum penjajah, para misionaris-misionaris yang menyebarkan agama Kristen datang ke Indonesia. Selain itu, terdapat juga cendikiawan Belanda yang datang untuk keperluan meneliti sejarah dan kebudayaan bangsa yang dijajah. Belanda mempelajari itu semua, dengan tujuan untuk melanggengkan penguasaan bangsanya atas bangsa yang terjajah.

Pada masa itu, di Indonesia hanya dikenal adanya tiga agama yaitu agama Kristen Protestan, Katolik dan Islam sedangkan Agama Buddha tidak disebut-sebut meskipun candi Borobudur telah kembali diketemukan pada tahun 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa. Hal ini adalah salah satu sikap Pemerintah Kolonial Belanda waktu itu. Dengan demikian Agama Buddha dianggap sudah sirna di bumi Indonesia, tetapi secara tersirat di dalam sanubari bangsa Indonesia, Agama Buddha masih tetap terasa antara ada dan tiada.

Pada jaman Pemerintahan Kolonial Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) didirikan Perhimpunan Teosofi oleh orang-orang Belanda terpelajar. Tujuan dari Teosofi ini mempelajari inti kebjaksanaan semua agama dan untuk menciptakan inti persaudaraan yang universal. Teosofi mengajarkan pula kebijaksanaan dari Agama Buddha, di mana seluruh anggota Teosofi tanpa memandang perbedaan agama, juga mempelajari Agama Buddha. Dari ceramah-ceramah dan meditasi Agama Buddha yang diberikan di Loji Teosofi di Jakarta, Bandung, Medan, Yogyakarta, Surabaya dan sebagainya, Agama Buddha mulai dikenal, dipelajari dan dihayati. Dari sini lahirlah penganut Agama Buddha di Indonesia, yang setelah Indonesia merdeka mereka menjadi pelopor kebangkitan kembali Agama Buddha di Indonesia.

Selain itu, di Batavia timbul pula usaha untuk melestarikan ajaran Agama Buddha Mahayana, Kong Hu Chu dan Tao yang kemudian lahirlah Organisasi Sam Kauw Hwee (Tri Dharma / Tiga Ajaran) bertujuan untuk mempelajari ketiga ajaran agama dan kepercayaan tersebut. Dari sini pula kemudian lahir penganut Agama Buddha, yang dalam jaman kemerdekaan Agama Buddha mulai bangkit dan berkembang.

Tidak jarang, bhiksu-bhiksu (hweshio-hweshio) dari Tiongkok datang memberikan bimbingan di kelenteng-kelenteng. Namum pada umumnya yang mereka berikan hanya penjelasan mengenai bentuk-bentuk upacara seperti bagaimana memasang dupa (hio) dan cara-cara sembahyang, menjaga lilin dan sebagainya. Jarang sekali mengungkapkan ajaran Buddha secara rinci.

Ditahun 1920-an muncul satu tokoh di kalangan Tri Dharma yang bernama Kwee Tek Hoay (31 Juli 1886 - 4 Juli 1952), seorang pedagang, penulis yang tajam dan juga budayawan. Ia menerbitkan majalah berbahasa Indonesia pertama yang berisikan ajaran Agama Buddha, dengan nama Moestika Dharma (1932 - 1934).

Dari majalah Moestika Dharma yang terbit pada tahun 1932 di Jakarta, diketahui bahwa telah berdiri sebuah organisasi Buddhis bernama Java Buddhist Association di bawah kepemimpinan E. Power dan Josias van Dienst. Organisasi ini merupakan anggota International Buddhist Mission yang berpusat di Thaton Birma (organisasi ini mengacu pada Agama Buddha Theravada). Kemudian berlanjut dengan International Buddhist Mission, Java Section yang berdiri di Batavia tahun 1932 dengan Deputy Director Generalnya adalah Josias van Dienst.

Kedatangan Pandita Josias membuka pikiran banyak tokoh-tokoh masyarakat yang memperhatikan Agama Buddha. Di kelenteng, waktu ia berdiskusi dengan bhiksu-bhiksu (hweshio-hweshio), banyak tokoh-tokoh kelenteng yang ikut mendengarkan. Pembicaraan antara upasaka keturunan Belanda itu dengan tokoh kelenteng adalah berkisar pada ajaran Agama Buddha dan perkembangannya di Pulau Jawa.

Atas jasa Kwee Tek Hoay, terselenggara dialog antara Pandita Josias v. Dients dan Bhiksu Lin Feng Fei, kepala kelenteng Kwan Im Tong di Prinsenlaan (Mangga Besar), Jakarta. Dialog itu menghasilkan kesepakatan bahwa kelenteng sebagai tempat ibadah umat Buddha tidak hanya digunakan sebagai tempat pemujaan saja, melainkan pula sebagai tempat untuk mendapatkan pelajaran Agama Buddha.

Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan itu, Bhiksu Lin Feng Fei mengizinkan Pandita Josias memberikan ceramah Agama Buddha di kelenteng Kwan Im Tong. Kemudian Kongkoan (Chineesche Raad), suatu badan yang mengorganisir kelenteng-kelenteng di Jakarta, mengizinkan pula Pandita Josias memberikan ceramah di kelenteng-kelenteng di sekitar Jakarta.

Pada tanggal 4 Maret 1934, Y.M. Bhikkhu Narada Thera dari Ceylon (Sri Lanka) datang ke Indonesia atas undangan Kwee Tek Hoay, Ir. Mengelaar Meertens (Ketua Perhimpunan Teosofi cabang Indonesia) dan Pandita Josias van Dienst (Deputy Director General International Buddhist Mission, Java Section). Selama berada di Pulau Jawa, Y.M. Bhikkhu Narada telah melakukan sejumlah kegiatan. Antara lain sebagai berikut:

Memberikan khotbah-khotbah dan pelajaran-pelajaran Buddha Dhamma di beberapa tempat di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Memberkahi penanaman Pohon Bodhi di pelataran Candi Borobudur pada 10 Maret 1934.
Membantu dalam pendirian Java Buddhist Association (Perhimpunan Agama Buddha yang pertama) di Bogor dan Jakarta.
Menjalin kerja-sama yang erat dengan bhiksu-bhiksu (hweshio-hweshio) dari kelenteng-kelenteng Kim Tek Ie, Kwan Im Tong dan Toeng San Tong di Jakarta, kelenteng Hok Tek Bio di Bogor, kelenteng Kwan Im Tong di Bandung, kelenteng Tin kok Sin di Solo dan perhimpunan-perhimpunan Teosofi di Jakarta, Bogor, Jawa-Barat dan Jawa-Tengah.
Melantik upasaka-upasaka dan upasika-upasika di tempat-tempat yang Beliau kunjungi, salah satunya adalah Bapak Maha Upasaka S. Mangunkawatja, tokoh umat Buddha Jawa Tengah yang kemudian menjadi anggota MPR, dilantik menjadi upasaka di Yogyakarta oleh Bhikkhu Narada Thera pada tanggal 10 Maret 1934.

Pada tahun yang sama dibentuk Java Buddhists Association Afdeeling Batavia (Jakarta) dengan J.W. de Witt sebagai ketua, DR. R. Ng. Poerbatjaraka sebagai wakil ketua, dan Ny. Tjoe Hin Hoey sebagai sekretaris. Disamping itu dibentuk juga Java Buddhists Association Afdeeling Buitenzorg (Bogor) dibawah pimpinan A. Van der Velde sebagai ketua dan Oeij Oen Ho sebagai sekretaris. Tak lama kemudian, tanggal 10 Mei 1934, Java Buddhists Association Afdeeling Batavia melepaskan diri dari Java Buddhists Association pusat dan berdiri sendiri dengan nama Batavia Budhists Association (BBA) dibawah pimpinan Kwee Tek Hoay sebagai ketua dan Ny. Tjoa Hin Hoey seagai sekretaris. Dalam majalah Moestika Dharma, Kwee Tek Hoay menjelaskan bahwa pemisahan ini bukan merupakan pemecahan tapi untuk dapat bergerak lebih leluasa. Batavia Buddhists Association condong menyebarkan ajaran Mahayana, berbeda dengan Java Buddhist Association yang condong menyebarkan ajaran Theravada.

Juga pada tahun yang sama yaitu tahun 1934, dibentuk Central Buddhists Institut Voor Java (Bhs. Belanda : De Dharma in Nederlandsche Indie) yaitu wadah kebersamaan seluruh organisasi Umat Buddha di Hindia Belanda. Organisasi ini juga menerbitkan media cetak berbahasa Belanda yang bernama De Dharma in Nederlandsche Indie.

Hingga tahun 1935, Kwee Tek Hoay telah banyak membentuk Sam Kauw Hwee, yaitu organisasi-organisasi setempat yang anggotanya terdiri dari penganut Agama Buddha, Kong Hu Chu dan Tao, dengan media cetak bernama Sam Kauw Goat Poo yang berbahasa Indonesia. Tujuan Organisasi ini pada dasarnya adalah untuk mencegah orang Tionghoa dan keturunan Tionghoa untuk menjadi penganut ajaran agama lain. Selama pendudukan Jepang, semua kegiatan organisasi Buddhis terhenti.

Sumber: Bhagavant.com